Kemponan Cerpen
cerpen ini pernah penulis kirim ke perlombaan jejak publisher, walau tidak berhasil menjadi juara

Aku tak tahu mengapa hari ini nasibku begitu malang, tahap demi tahap kejadian buruk yang berawal dari kecelakaan sepeda motor di jalan raya tadi pagi. Menjadi awal dari peristiwa buruk hari ini.
Kecelakaan itu memang tidak sedemikian parah bagi tubuhku, sebab aku masih bisa berdiri tegak bahkan berjalan meskipun tertatih-tatih. Namun tidak halnya jika dibandingkan dengan kerusakan sepeda motorku.
Kaca spion patah, lampu sen pecah, bahkan knalpot juga mengalami kerusakan berat. Mungkin butuh dana lebih untuk memperbaikinya.
“Sial, mengapa kejadian ini kualami saat uang gajiku sekarat” kataku dalam hati.
***
Lalu, Apakah kejadian buruk itu hanya kualami di jalanan ?
Tidak, Sebab di kantor pak Sofyan pimpinan perusahaan PT. Anugrah Indah dimana aku bekerja sebagai marketing. Marah besar kepadaku, ada alasan mengapa beliau melakukan itu.
Hasil penjualanku tidak memenuhi target selama tiga bulan, sebab tak ada satu pun orang yang ingin berinvestasi di PT. Anugrah Indah dan menjadi nasabahku.
Investasi ? Ya, Investasi perusahaan PT. Anugrah Indah adalah perusahaan yang bergerak di bidang Valas dan Futures. Tugas kami sebagai marketing adalah mencari nasabah.
Jika target tak tercapai selama tiga bulan maka konsekuensinya adalah tidak mendapatkan gaji untuk bulan keempat, jika terus-terusan hingga bulan kelima maka, perusahaan berhak untuk memecat kami.
Sebenarnya pak Sofyan tidak begitu marah pada awalnya, sebelum aku menguap pada saat beliau mengingatkanku.
Beliau menganggap bahwa aku tak menanggapi dan mendengarkan perkataannya.
***
Kesialan terus berlanjut pada saat jam istirahat kantor. Bella, pacarku yang usianya terpaut setahun denganku, berselingkuh dengan rekan bisnisku. Aldo, namanya.
Aku tak menduga bahwa hal ini terjadi sebelum aku melihat dengan mata kepalaku sendiri di sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari kantor. Apalagi, Aldo sebenarnya sudah kuanggap sebagai sahabat dekat.
Terlihat jelas, Bella pergi dengan Aldo dengan menggunakan mobil Avanza putih dan sebelum itu Bella mencium pipi Aldo. Bagiku itu sudah jelas bahwa mereka serius menjalin sebuah hubungan khusus atau dalam istilahnya pacaran.
Rasa penasaran membuatku menghubungi Bella melalui aplikasi whatsapp lewat Smartphoneku. Dan aku tak mengirimkan teks atau chatting, melainkan melakukan calling atau panggilan dengan alasan lebih mudah berkomunikasi.
“Hallo, sayang” kataku mengawali pembicaraan.
“Ya, hai..” Bella membalas percakapanku.
“Kamu lagi dimana ?” Tanyaku dengan nada sedikit mencurigakan.
“Aku lagi dirumah, aku lagi demam nih, say... beliin aku Pizza donk !”
“Nggak !!” Kataku dengan nada sedikit marah.
“Ih... kok kamu gitu sih say ?”
“Udah deh, mending kamu jelasin dulu sama aku, ngapain kamu pergi sama Aldo ? Kalian pacaran ya ?”
“Apaan sih.... Jangan asal nuduh deh kamu, Don !!!” Bella membentakku dengan keras.
“Don... Jadi kamu panggil aku sekarang, Doni, gitu ? Aku lihat sendiri kok dengan mata kepalaku di Kafe tempat kita... Hallo ! Bell !”
Bella memutuskan pembicaraan melalui whatsapp call nya,
“Oke, Bell... sekarang kita putus, aku nggak mau lagi hadir di dalam kehidupanmu,” sebuah pesan singkat kukirim melalui whatsapp. Jujur, aku tak ingin dibohongi oleh kenyataan yang sudah jelas dimataku.
***
Jika kutarik sebuah garis lurus akan kesialan yang kualami hari ini, maka aku mengalami peristiwa yang bernama Kemponan.
Kemponan ? apa itu ?
Oke, bagi kami masyarakat melayu Pontianak percaya akan suatu mitos, apabila menolak sebuah makanan maka kami akan mendapatkan kesialan atau bernasib sial.
Mitos, sejujurnya aku tak begitu percaya dengan mitos apalagi di zaman modern seperti saat ini. Era teknologi dan informasi. Dimana mitos hanyalah hisapan jempol atau hoax.
Namun, kejadian ini menyadarkanku bahwa mitos terkadang benar apalagi jika kita tinggal di kota yang menganut kebenaran tentang mitos itu.
***
Jujur, aku menyesal telah menolak hidangan ikan patin asam pedas khas Pontianak yang ditawari oleh ibuku tadi malam. Padahal beliau tahu jika aku memang penggemar ikan asam pedas apalagi jika ditambah dengan sambal terasi. Rasanya sungguh menggugah selera.
“Makanlah nak, mamak udah buat Ikan asam pedas buat Doni tu, Biasa Doni suka mengapa hari ini tak mau makan ?”
“Ndak Mak, Doni masih kenyang Mak, habis makan di rumah teman tadi.”
“Ya udah, kalo mau makan ikannya Mamak simpan di lemari ya !”
“Ya, Mak.”
Itulah perkataan beliau terakhir kali kepadaku. Sayangnya, ketika hendak sarapan, ikan patin asam pedas itu sudah basi sehingga harus kubuang.
Tadi pagi, Ibu sudah pulang ke Kabupaten Sambas sehingga malam ini aku takkan menemukan beliau dan menikmati ikan asam pedas.
***
Sebenarnya di Pontianak cukup banyak yang menjual ikan asam pedas, seperti di warung Mak Etek, Cahaya Mata dan beberapa warung makan melayu prasmanan lainnya.
Namun entah mengapa bagiku, Ikan asam pedas yang dimasak oleh ibu adalah ikan asam pedas yang paling lezat. Beliau mampu masak berbagai macam variasi ikan asam pedas dimana bahan utamanya terkadang tak hanya Patin.
Kakap, Tongkol dan beberapa ikan lainnya adalah variasi ikan yang mampu beliau masak dengan cara asam pedas.
Setiap kali beliau berkunjung ke Pontianak, aku selalu menunggu kesempatan untuk mencicipi hidangan ikan asam pedas buatannya.
Sebuah ide muncul di kepalaku, ya aku harus pergi ke Sambas besok, apapun yang terjadi. Aku harus meminta maaf kepada beliau, ibuku. Dan aku harus menikmati kelezatan ikan asam pedas disana.
Kebetulan besok adalah hari Minggu, jadi ini adalah sebuah kesempatan yang tepat bagiku untuk pulang kampung dengan menggunakan Bus, biarlah hari senin ini aku tak masuk kerja.
***
Akhirnya, aku tiba juga di rumahku yang berada di Kabupaten Sambas. Rumah ini tak begitu besar, namun sederhana. Lewat kesederhanaan inilah aku diajarkan hidup apa adanya.
“Assalamualaikum ! Mak ! Tiwi !” Ujarku saat tiba di rumah, suasana rumah tampak sedang ramai. Dihadapanku, tampak jelas seperti ada sebuah peristiwa malam pertama setelah meninggalnya seseorang. Beberapa orang menangis, bahkan ada yang pingsan.
Aroma wangi stanggi dan dupa, menyengat di hidungku.
“Abang !” Mata Tiwi berkaca saat melihatku datang.
“Tiwi ? Ada apa ini ?” kataku dalam hati.
Ini tidak seperti biasanya, sebab Tiwi selalu tertawa atau pun kegirangan saat aku tiba ke rumah, seperti saat Idul Fitri atau Idul Adha tiba.
“Mamak !” Suara Tiwi terdengar parau, tampaknya ia baru saja menangis. Hatiku hancur saat melihat keadaan seperti ini.
“Mamak ! Mamak kenapa Tiwi ?” Pertanyaan demi pertanyaan kulontarkan, rasa cemas mulai menghampiriku sebab aku takut terjadi sesuatu dengan ibu.
“Mamak meninggal bang, tadi malam.”
“Hah !!!” Aku tak percaya ini terjadi, bukankah tadi malam ibu berada di Pontianak dan memasak ikan asam pedas untukku ?
“Jangan bercanda kamu Tiwi ! kemarin malam Mamak masih ada di Pontianak, kok. Malah dia buat ikan asam pedas buat abang,” Ujarku dengan nada sedikit meninggi.
“Ya, bang. Mamak meninggal tadi malam,” Ujar Tiwi seraya menangis.
Aku jatuh lemas mendengar ucapan dari Tiwi. Tanpa terasa aku pun menangis, sembari mengingat kejadian yang kualami tadi malam.
“Yang sabar ya, Don !” suara paman Ahmad adik kandung Ibu. Beliau mencoba menenangkanku dengan menepuk pundakku secara perlahan-lahan.
“Sebelum Mamakmu meninggal, Dia berpesan kepada Paman agar kamu pulang ke Sambas dan mencicipi Ikan Asam Pedas buatannya untuk terakhir kali.” lanjut paman Ahmad.
Aku menyesal mengapa aku tak menikmati ikan patin asam pedas yang dimasak oleh ibuku tadi malam. Terlepas dari sosok apa yang berada di rumah pada saat itu.
Aku juga bertanya tentang makna yang kualami tadi malam di Pontianak. Apa maksudnya ?
Memang, Tuhan terkadang memberikan sebuah petunjuk dengan cara misterius. Namun, ada sebuah pelajaran yang dapat kuambil dari kejadian ini.
“Ketika kita merantau, maka janganlah melupakan tanah kelahiran kita. Terutama tatkala orang tua merindukan kita. Tetaplah berkomunikasi dengan mereka seandainya mereka masih hidup sebab tanpa mereka kita bukanlah siapa-siapa. Turutilah sebuah keinginan mereka sebab bisa saja itu merupakan permintaan dan keinginan terakhir sebelum ajal menemui mereka.”
Sejak kejadian itu aku percaya bahwa kemponan bukanlah sebuah mitos, melainkan sebuah misteri yang berasal dari Illahi.
Selesai
Aku tak tahu mengapa hari ini nasibku begitu malang, tahap demi tahap kejadian buruk yang berawal dari kecelakaan sepeda motor di jalan raya tadi pagi. Menjadi awal dari peristiwa buruk hari ini.
Kecelakaan itu memang tidak sedemikian parah bagi tubuhku, sebab aku masih bisa berdiri tegak bahkan berjalan meskipun tertatih-tatih. Namun tidak halnya jika dibandingkan dengan kerusakan sepeda motorku.
Kaca spion patah, lampu sen pecah, bahkan knalpot juga mengalami kerusakan berat. Mungkin butuh dana lebih untuk memperbaikinya.
“Sial, mengapa kejadian ini kualami saat uang gajiku sekarat” kataku dalam hati.
***
Lalu, Apakah kejadian buruk itu hanya kualami di jalanan ?
Tidak, Sebab di kantor pak Sofyan pimpinan perusahaan PT. Anugrah Indah dimana aku bekerja sebagai marketing. Marah besar kepadaku, ada alasan mengapa beliau melakukan itu.
Hasil penjualanku tidak memenuhi target selama tiga bulan, sebab tak ada satu pun orang yang ingin berinvestasi di PT. Anugrah Indah dan menjadi nasabahku.
Investasi ? Ya, Investasi perusahaan PT. Anugrah Indah adalah perusahaan yang bergerak di bidang Valas dan Futures. Tugas kami sebagai marketing adalah mencari nasabah.
Jika target tak tercapai selama tiga bulan maka konsekuensinya adalah tidak mendapatkan gaji untuk bulan keempat, jika terus-terusan hingga bulan kelima maka, perusahaan berhak untuk memecat kami.
Sebenarnya pak Sofyan tidak begitu marah pada awalnya, sebelum aku menguap pada saat beliau mengingatkanku.
Beliau menganggap bahwa aku tak menanggapi dan mendengarkan perkataannya.
***
Kesialan terus berlanjut pada saat jam istirahat kantor. Bella, pacarku yang usianya terpaut setahun denganku, berselingkuh dengan rekan bisnisku. Aldo, namanya.
Aku tak menduga bahwa hal ini terjadi sebelum aku melihat dengan mata kepalaku sendiri di sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari kantor. Apalagi, Aldo sebenarnya sudah kuanggap sebagai sahabat dekat.
Terlihat jelas, Bella pergi dengan Aldo dengan menggunakan mobil Avanza putih dan sebelum itu Bella mencium pipi Aldo. Bagiku itu sudah jelas bahwa mereka serius menjalin sebuah hubungan khusus atau dalam istilahnya pacaran.
Rasa penasaran membuatku menghubungi Bella melalui aplikasi whatsapp lewat Smartphoneku. Dan aku tak mengirimkan teks atau chatting, melainkan melakukan calling atau panggilan dengan alasan lebih mudah berkomunikasi.
“Hallo, sayang” kataku mengawali pembicaraan.
“Ya, hai..” Bella membalas percakapanku.
“Kamu lagi dimana ?” Tanyaku dengan nada sedikit mencurigakan.
“Aku lagi dirumah, aku lagi demam nih, say... beliin aku Pizza donk !”
“Nggak !!” Kataku dengan nada sedikit marah.
“Ih... kok kamu gitu sih say ?”
“Udah deh, mending kamu jelasin dulu sama aku, ngapain kamu pergi sama Aldo ? Kalian pacaran ya ?”
“Apaan sih.... Jangan asal nuduh deh kamu, Don !!!” Bella membentakku dengan keras.
“Don... Jadi kamu panggil aku sekarang, Doni, gitu ? Aku lihat sendiri kok dengan mata kepalaku di Kafe tempat kita... Hallo ! Bell !”
Bella memutuskan pembicaraan melalui whatsapp call nya,
“Oke, Bell... sekarang kita putus, aku nggak mau lagi hadir di dalam kehidupanmu,” sebuah pesan singkat kukirim melalui whatsapp. Jujur, aku tak ingin dibohongi oleh kenyataan yang sudah jelas dimataku.
***
Jika kutarik sebuah garis lurus akan kesialan yang kualami hari ini, maka aku mengalami peristiwa yang bernama Kemponan.
Kemponan ? apa itu ?
Oke, bagi kami masyarakat melayu Pontianak percaya akan suatu mitos, apabila menolak sebuah makanan maka kami akan mendapatkan kesialan atau bernasib sial.
Mitos, sejujurnya aku tak begitu percaya dengan mitos apalagi di zaman modern seperti saat ini. Era teknologi dan informasi. Dimana mitos hanyalah hisapan jempol atau hoax.
Namun, kejadian ini menyadarkanku bahwa mitos terkadang benar apalagi jika kita tinggal di kota yang menganut kebenaran tentang mitos itu.
***
Jujur, aku menyesal telah menolak hidangan ikan patin asam pedas khas Pontianak yang ditawari oleh ibuku tadi malam. Padahal beliau tahu jika aku memang penggemar ikan asam pedas apalagi jika ditambah dengan sambal terasi. Rasanya sungguh menggugah selera.
“Makanlah nak, mamak udah buat Ikan asam pedas buat Doni tu, Biasa Doni suka mengapa hari ini tak mau makan ?”
“Ndak Mak, Doni masih kenyang Mak, habis makan di rumah teman tadi.”
“Ya udah, kalo mau makan ikannya Mamak simpan di lemari ya !”
“Ya, Mak.”
Itulah perkataan beliau terakhir kali kepadaku. Sayangnya, ketika hendak sarapan, ikan patin asam pedas itu sudah basi sehingga harus kubuang.
Tadi pagi, Ibu sudah pulang ke Kabupaten Sambas sehingga malam ini aku takkan menemukan beliau dan menikmati ikan asam pedas.
***
Sebenarnya di Pontianak cukup banyak yang menjual ikan asam pedas, seperti di warung Mak Etek, Cahaya Mata dan beberapa warung makan melayu prasmanan lainnya.
Namun entah mengapa bagiku, Ikan asam pedas yang dimasak oleh ibu adalah ikan asam pedas yang paling lezat. Beliau mampu masak berbagai macam variasi ikan asam pedas dimana bahan utamanya terkadang tak hanya Patin.
Kakap, Tongkol dan beberapa ikan lainnya adalah variasi ikan yang mampu beliau masak dengan cara asam pedas.
Setiap kali beliau berkunjung ke Pontianak, aku selalu menunggu kesempatan untuk mencicipi hidangan ikan asam pedas buatannya.
Sebuah ide muncul di kepalaku, ya aku harus pergi ke Sambas besok, apapun yang terjadi. Aku harus meminta maaf kepada beliau, ibuku. Dan aku harus menikmati kelezatan ikan asam pedas disana.
Kebetulan besok adalah hari Minggu, jadi ini adalah sebuah kesempatan yang tepat bagiku untuk pulang kampung dengan menggunakan Bus, biarlah hari senin ini aku tak masuk kerja.
***
Akhirnya, aku tiba juga di rumahku yang berada di Kabupaten Sambas. Rumah ini tak begitu besar, namun sederhana. Lewat kesederhanaan inilah aku diajarkan hidup apa adanya.
“Assalamualaikum ! Mak ! Tiwi !” Ujarku saat tiba di rumah, suasana rumah tampak sedang ramai. Dihadapanku, tampak jelas seperti ada sebuah peristiwa malam pertama setelah meninggalnya seseorang. Beberapa orang menangis, bahkan ada yang pingsan.
Aroma wangi stanggi dan dupa, menyengat di hidungku.
“Abang !” Mata Tiwi berkaca saat melihatku datang.
“Tiwi ? Ada apa ini ?” kataku dalam hati.
Ini tidak seperti biasanya, sebab Tiwi selalu tertawa atau pun kegirangan saat aku tiba ke rumah, seperti saat Idul Fitri atau Idul Adha tiba.
“Mamak !” Suara Tiwi terdengar parau, tampaknya ia baru saja menangis. Hatiku hancur saat melihat keadaan seperti ini.
“Mamak ! Mamak kenapa Tiwi ?” Pertanyaan demi pertanyaan kulontarkan, rasa cemas mulai menghampiriku sebab aku takut terjadi sesuatu dengan ibu.
“Mamak meninggal bang, tadi malam.”
“Hah !!!” Aku tak percaya ini terjadi, bukankah tadi malam ibu berada di Pontianak dan memasak ikan asam pedas untukku ?
“Jangan bercanda kamu Tiwi ! kemarin malam Mamak masih ada di Pontianak, kok. Malah dia buat ikan asam pedas buat abang,” Ujarku dengan nada sedikit meninggi.
“Ya, bang. Mamak meninggal tadi malam,” Ujar Tiwi seraya menangis.
Aku jatuh lemas mendengar ucapan dari Tiwi. Tanpa terasa aku pun menangis, sembari mengingat kejadian yang kualami tadi malam.
“Yang sabar ya, Don !” suara paman Ahmad adik kandung Ibu. Beliau mencoba menenangkanku dengan menepuk pundakku secara perlahan-lahan.
“Sebelum Mamakmu meninggal, Dia berpesan kepada Paman agar kamu pulang ke Sambas dan mencicipi Ikan Asam Pedas buatannya untuk terakhir kali.” lanjut paman Ahmad.
Aku menyesal mengapa aku tak menikmati ikan patin asam pedas yang dimasak oleh ibuku tadi malam. Terlepas dari sosok apa yang berada di rumah pada saat itu.
Aku juga bertanya tentang makna yang kualami tadi malam di Pontianak. Apa maksudnya ?
Memang, Tuhan terkadang memberikan sebuah petunjuk dengan cara misterius. Namun, ada sebuah pelajaran yang dapat kuambil dari kejadian ini.
“Ketika kita merantau, maka janganlah melupakan tanah kelahiran kita. Terutama tatkala orang tua merindukan kita. Tetaplah berkomunikasi dengan mereka seandainya mereka masih hidup sebab tanpa mereka kita bukanlah siapa-siapa. Turutilah sebuah keinginan mereka sebab bisa saja itu merupakan permintaan dan keinginan terakhir sebelum ajal menemui mereka.”
Sejak kejadian itu aku percaya bahwa kemponan bukanlah sebuah mitos, melainkan sebuah misteri yang berasal dari Illahi.
Selesai
Komentar
Posting Komentar